Angin Segar! Hak Bekerja Tanpa Khawatir Umur, Perempuan juga Terdampak
WOMEN SOUL - Ada kabar gembira dari dunia kerja Indonesia, khususnya di Jawa Timur. Pada awal Mei 2025, Gubernur Khofifah Indar Parawansa resmi menghapus batas usia kerja bagi pencari kerja dalam proses rekrutmen di wilayahnya. Mengutip Detik.com (03/05), kebijakan ini sontak menjadi perbincangan hangat karena menyentuh isu sensitif yang selama ini menjadi “tembok tak terlihat” bagi banyak pencari kerja: usia.
Dalam banyak lowongan kerja, batas usia biasanya di bawah 30 atau 35 tahun menjadi syarat utama yang memaksa banyak calon pekerja, terutama mereka yang sudah “berumur”, untuk mundur bahkan sebelum sempat mencoba. Kebijakan Khofifah ini menjadi angin segar yang menyapu harapan baru bagi ribuan masyarakat yang selama ini merasa dikunci oleh angka kelahiran mereka sendiri.
Ketika Umur Jadi Alat Seleksi yang Tak Masuk Akal
Realitanya, diskriminasi usia adalah salah satu bentuk ketidakadilan paling umum dalam proses perekrutan di Indonesia. Banyak perusahaan menulis terang-terangan batas usia kerja dalam iklan lowongan mereka, dan sebagian besar HRD bahkan langsung menyortir CV berdasarkan tanggal lahir.
Stigma yang melekat? Pekerja muda dianggap lebih mudah dibentuk, lebih melek teknologi, dan lebih fleksibel. Sementara itu, pekerja yang lebih senior di atas 35 atau 40 tahun dicap kaku, lambat belajar, atau kurang produktif. Padahal, data dari Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan bahwa lebih dari 40% pencari kerja merasa peluang mereka tertutup hanya karena usia, bukan karena kurangnya kualifikasi atau keterampilan.
Mereka yang pernah cuti karena alasan keluarga, berpindah jalur karier, atau bahkan sempat putus kerja karena pandemi, kini mendapat “label tua”meskipun semangat dan skill mereka masih sangat relevan dengan kebutuhan industri saat ini. Ironis, bukan?
Sudah Sampai ke Meja Mahkamah Konstitusi, Tapi Ditolak
Isu diskriminasi usia bahkan pernah dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mengutip Kompas.com (31/07), sekelompok aktivis dan pekerja mengajukan uji materi Pasal 35 dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Mereka ingin menantang legalitas batasan usia dalam lowongan pekerjaan, dengan dalih bahwa hak atas pekerjaan seharusnya dimiliki semua orang tanpa diskriminasi usia.
Namun, MK menolak pengujian ini. Alasannya? Menurut MK, aturan batas usia kerja merupakan kebijakan teknis perusahaan, bukan pelanggaran terhadap HAM secara eksplisit. Keputusan ini jelas mengecewakan banyak pihak, apalagi di tengah meningkatnya angka pengangguran usia produktif di atas 30 tahun.
Bagi sebagian besar masyarakat, penolakan ini terasa seperti menutup satu-satunya celah untuk mendapatkan kesempatan kerja adil secara nasional.
Perlu Support System Pemerintah
Langkah Khofifah memang progresif, tapi tetap saja ini hanya berlaku di level provinsi. Supaya dunia kerja Indonesia menjadi lebih inklusif dan sehat, dukungan pemerintah pusat sangat dibutuhkan. Regulasi yang jelas dan tegas harus dibuat agar perusahaan tidak lagi menggunakan umur sebagai “pagar” yang memisahkan siapa yang layak dan tidak layak bekerja.
Regulasi semacam ini penting agar perusahaan mulai mengalihkan fokus mereka dari usia ke kompetensi, pengalaman, dan sikap profesional pekerja. Dunia kerja yang hanya menyambut anak muda akan kehilangan salah satu aset paling berharga: kebijaksanaan dan ketenangan dari mereka yang sudah kenyang asam garam hidup.
Pekerja Perempuan Dua Kali Terkena Getah Diskriminasi
Nah, sekarang mari kita zoom in ke satu kelompok yang sangat merasakan dampaknya : pekerja perempuan.
Bagi perempuan, diskriminasi usia adalah lapisan tambahan dari diskriminasi gender yang sudah lebih dulu mengakar. Banyak perempuan yang setelah menikah atau melahirkan, rehat sejenak dari dunia kerja. Saat ingin kembali, mereka justru menemukan pintu yang nyaris tertutup karena umur mereka sudah "kelewat batas".
Bahkan di sektor formal, perempuan yang berusia 35 tahun ke atas sering dianggap “kurang fleksibel”, “tidak energik”, atau “terlalu sibuk dengan rumah tangga”. Ini menciptakan double burden: sudah dibatasi karena gender, ditambah dibatasi karena usia.
Padahal, banyak perempuan usia matang justru punya daya tahan kerja yang tinggi, komunikasi yang matang, dan kecakapan multitasking yang tidak dimiliki pekerja pemula. Mereka layak mendapat ruang yang sama.
Kebijakan Ini Bisa Jadi Pemantik
Dengan menghapus batas usia kerja, perusahaan mau tidak mau harus mulai menilai pekerja berdasarkan kinerja dan kompetensi, bukan usia atau gender. Ini bisa jadi titik awal penting untuk mendorong keadilan di tempat kerja: tidak hanya dalam usia, tetapi juga dalam jenis kelamin.
Perempuan yang ingin kembali bekerja setelah break, ibu tunggal, janda korban KDRT, bahkan perempuan usia 40 tahun yang baru sempat mengenyam pendidikan tinggi semua kini punya peluang nyata. Jika perusahaan berani keluar dari kotak persepsi lama, maka dunia kerja bisa menjadi tempat yang jauh lebih manusiawi dan produktif.
Angin Segar Menuju Kesempatan Kerja Adil
Apa yang dilakukan Gubernur Khofifah adalah lebih dari sekadar keputusan administratif. Ini adalah pernyataan tegas bahwa kesempatan kerja adil tidak boleh dibatasi oleh angka umur. Kebijakan ini adalah angin segar yang menghembuskan harapan baru bagi pekerja yang selama ini tersekat oleh stereotip.
Memang, perjalanan menuju kesetaraan masih panjang. Tapi setiap langkah kecil, termasuk penghapusan batas usia kerja, membawa kita lebih dekat pada dunia kerja Indonesia yang adil dan inklusif baik untuk pekerja muda, senior, pria maupun perempuan.
Semoga provinsi lain bisa terinspirasi, dan semoga pemerintah pusat tak ragu untuk menjadikan ini kebijakan nasional. Karena hak untuk bekerja bukanlah soal usia, melainkan soal niat, kapasitas, dan kontribusi nyata.
Penulis: Faryal Maharani



Komentar
Posting Komentar