Fakta atau Isu Belaka: Beauty Privilege nyata di Dunia Kerja
WOMEN SOUL - Di tengah kemajuan zaman dan gencarnya isu kesetaraan gender, nyatanya dunia kerja masih belum sepenuhnya terbebas dari diskriminasi, salah satunya adalah beauty privilege atau hak istimewa yang diperoleh seseorang karena memenuhi standar kecantikan tertentu.
Fenomena ini terjadi di berbagai sektor, terutama yang melibatkan interaksi dengan publik. Tidak jarang, lowongan kerja secara nyata, bahkan terang-terangan mencantumkan kriteria seperti “berpenampilan menarik”, “tinggi dan langsing”, “berkulit putih (cerah)”, atau bahkan menulis secara eksplisit “good looking”. Kriteria-kriteria tersebut seolah menjadi tiket emas bagi sebagian perempuan untuk masuk ke dunia kerja dengan lebih mudah, sementara bagi yang lain justru menjadi penghalang, meskipun mereka memiliki kualifikasi akademik dan pengalaman yang memadai.
Realita Beauty Privilege
Salah satu faktor yang tanpa sadar dianggap sebagai indikator kompetensi seseorang adalah beauty privilege, karena ilusi yang terbentuk dari paradigma ini menyatakan bahwa penampilan fisik menjadi penentu utama kemampuan seseorang. Sejumlah studi menunjukkan bahwa individu yang dinilai menarik secara fisik cenderung lebih mudah memperoleh pekerjaan, mendapatkan promosi, bahkan memperoleh gaji yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang tidak memenuhi standar kecantikan pada umumnya.
Standar kecantikan di Indonesia sering kali dikaitkan dengan kulit putih, wajah mulus tanpa jerawat, tubuh tinggi dan langsing, serta penampilan feminin yang rapi. Dalam praktiknya, hal ini mempengaruhi proses rekrutmen, dimana pewawancara, baik secara sadar maupun tidak, cenderung memilih kandidat yang lebih “enak dipandang”.
“Saya pernah lihat di TikTok, proses perekrutan pramugari KAI itu ada yang namanya ‘tali keramat’. Itu maksudnya proses pengecekan tinggi badan, di mana tinggi badan kita akan diukur menggunakan benang atau tali yang sudah disiapkan oleh pihak sana, untuk memastikan apakah tinggi badan kita memenuhi syarat atau tidak,” cerita Tysa (21), seorang pencari kerja di Jakarta.
Impian yang Tertunda karena Beauty Privilege
Beauty privilege tidak hanya berdampak pada peluang untuk mendapatkan pekerjaan, tetapi juga mempengaruhi kepercayaan diri dan motivasi perempuan muda. Banyak di antara mereka yang akhirnya merasa minder, merasa tidak cukup “cantik” untuk dunia profesional, atau bahkan menyerah sebelum mencoba karena merasa tidak akan pernah bisa memenuhi ekspektasi visual yang ditetapkan.
“Aku pengen banget kerja jadi pramugari, tapi pas lihat syaratnya harus good looking dan tinggi minimal 160 cm, aku langsung down. Padahal aku punya pengalaman di bidang F&B dan lulusan jurusan pariwisata. Rasanya kayak semua usaha itu gak cukup karena penampilanku gak sesuai standar,” ungkap Lala (22), lulusan Jurusan Perjalanan Pariwisata.
Situasi ini juga membuat persaingan kerja menjadi semakin tidak sehat. Alih-alih fokus pada pengembangan keterampilan dan kualitas diri, sebagian perempuan justru terdorong untuk mengubah penampilan mereka agar lebih sesuai dengan “standar industri”. Ini mencakup penggunaan produk perawatan kulit secara berlebihan, melakukan operasi plastik, hingga mengalami tekanan psikologis karena merasa tidak cukup baik secara fisik.
Diskriminasi Terselubung dari Beauty Privilege
Beauty privilege sebenarnya adalah bentuk diskriminasi terselubung yang sering kali tidak disadari. Perusahaan berdalih bahwa penampilan menarik dibutuhkan untuk menciptakan “kesan profesional” atau “brand image”. Namun, pembenaran ini justru memperkuat stigma bahwa nilai seorang pekerja diukur dari visual, bukan intelektualitas atau etos kerja.
Padahal, kemampuan berkomunikasi, etika kerja, pengalaman, dan integritas adalah hal-hal yang jauh lebih penting dalam menentukan performa seseorang di dunia profesional. Mengedepankan penampilan justru menciptakan ruang kerja yang tidak inklusif dan merugikan banyak perempuan yang tidak masuk dalam kategori “standar kecantikan industri”.
Mendorong Perubahan
Untuk mengubah situasi ini, perlu ada kesadaran kolektif dari berbagai pihak. Perusahaan harus mulai menyusun kriteria rekrutmen yang berbasis kompetensi, bukan penampilan fisik. Pemerintah juga bisa berperan lewat regulasi ketenagakerjaan yang mencegah diskriminasi berbasis penampilan.
Di sisi lain, masyarakat juga perlu mengubah cara pandang terhadap kecantikan dan kesuksesan. Standar kecantikan seharusnya tidak menjadi penghalang perempuan untuk meraih impian mereka, baik dalam karier maupun kehidupan sosial. Kampanye media yang lebih inklusif, representasi perempuan dari berbagai latar belakang fisik, serta edukasi soal self-worth bisa menjadi langkah awal untuk meruntuhkan dominasi beauty privilege di ruang kerja.
Beauty privilege adalah kenyataan pahit yang dihadapi banyak perempuan dalam perjalanan mereka menuju pekerjaan impian. Ketika kecantikan menjadi prasyarat, banyak potensi terbuang dan mimpi yang tertunda hanya karena tidak memenuhi standar visual. Sudah saatnya dunia kerja menilai perempuan berdasarkan kemampuan dan dedikasinya, bukan dari warna kulit, bentuk tubuh, atau seberapa simetris wajah mereka.
Dengan menciptakan ruang kerja yang lebih adil dan inklusif, kita tidak hanya memberi kesempatan bagi lebih banyak perempuan untuk berkembang, tapi juga membangun dunia profesional yang lebih manusiawi dan bermartabat.



Komentar
Posting Komentar